Review Film Buya Hamka Vol. 1
“Kalau hidup sekedar hidup, babi pun bisa hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kera pun bekerja.”
Dua kalimat yang terlontar dari mulut Hamka yang saya ingat terus setelah menonton filmnya. Dalam banget sih. Seakan menggambarkan sosok beliau yang selalu sungguh-sungguh dalam bekerja.
Buya Hamka, Berjuang Melalui Tulisan
Siapa yang tidak kenal Buya Hamka? Sosok pejuang kemerdekaan yang berjuang melalui tulisan, terpatri di ingatan kita. Novel-novel beliau pun best seller, bahkan diangkat ke layar lebar. Di antaranya Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van Verdewick.
Menjalankan pemimpin Muhammadiyah di Makassar tidak sulit bagi Buya Hamka. Walau ada masalah yang dihadapi tapi semua bisa teratasi dengan mudah.
Sampai kesempatan itu datang, tawaran menjadi pemimpin Surat Kabar Pedoman Masyarakat di Medan. Hamka yang pada awalnya menolak karena tidak bisa membawa keluarga ikut serta. Akhirnya menerima tawaran tersebut. Istri Hamka mendukung penuh suaminya, dengan tinggal di Padang Panjang, dan Hamka tinggal di Medan.
Perjuangan Hamka membesarkan Pedoman Masyarakat menjadi Surat Kabar Harian Peringkat Pertama di Hindia Belanda ternyata tidak mudah. Mendapatkan perlawanan dari Jepang dan juga meninggal anaknya Hasyim. Buya Hamka pun menjadi pemimpin Muhammadiyah di Sumatra Timur.
Sampai kemudian Hamka menolak permintaan Jepang untuk Seikerei dan meminta Jepang untuk tidak menganggu para ulama. Anehnya Jepang menyetujuinya.
Jepang pun membawa Hamka ke Singapura, untuk memberitahukan kepada dunia melalui tulisannya, kalau Jepang telah membebaskan Islam di Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda.
Bagaimana selanjutnya perjuangan Buya Hamka dalam membebaskan diri dari Jepang?
Film Buya Hamka Mengupas Sosoknya Dalam 3 Bagian
Saat menonton trailernya saya langsung suka sih. Setting zaman dulunya terasa banget. Warna natural dan juga gaya natural zaman sebelum kemerdekaan. Ditambah lagi dialog Minang yang menyentuh, tapi tenang ada subtitle bahasa Indonesia di setiap percakapannya. Setiap kalimat yang dikeluarkan terasa indah. Mungkin karena Buya Hamka penulis, jadi dalam filmnya pun tidak hanya dialog, tapi juga pantun dan syair.
Di awal menonton saya sempat bingung siapa pemeran Buya Hamka. Ternyata setelah memperhatikan wajah Buya Hamka dan istrinya, baru sadar ternyata Vino dan Claudia yang memerankannya. Untuk menampilkan Buya Hamka dan istrinya dari muda sampai tua, cukup dengan makeup dan akting. Lumayan bagus sih, jelas keriputnya dan kering muka.
Yang paling mengesankan akting Vino sebagai Buya Hamka, diminta oleh seorang bapak untuk menikah dengan anak perempuannya. Namun Hamka menolak poligami, karena merasa tidak sanggup adil. Ternyata di film Buya Hamka selanjutnya ada penjelasan kalau ayah dan ibu Buya Hamka bercerai, karena ayahnya poligami.
Memang di film Vol. 1 ini keseruan menonton terasa pada tengah dan menjelang akhir film. Di awal film terasa slow jalan ceritanya. Sepertinya Vol. 1 ini memang baru pembukaan kisah hidup Buya Hamka. Keseruannya terasa di cuplikan Vol. 2 dan Vol.3 yang muncul setelah filmnya selesai.
Bagi yang penasaran kisah hidup lengkap Buya Hamka, sayang banget kalau tidak menonton film Vol. 1 ini. Nanti pas nonton kelanjutannya bakalan banyak missed sih. Apalagi film ini untuk semua umur, sehingga bisa mengajak anak-anak dari usia sekolah SD. Aman, bahkan adegan romantis percakapan Buya Hamka dan istri pun masih dalam batasan sopan adat timur.
Sangat disayangkan bila tidak menonton, karena ini ibarat belajar sejarah dengan menonton. Biaya sekitar 70 milyar telah dihabiskan untuk membuat film fenomenal ini. Seharusnya mulai tayang sejak tahun 2019, tapi keburu pandemi melanda. Dan ada dua orang pemeran yang sudah meninggal.
Sampai akhirnya film Vol. 1 ini ditayangkan, menjadi kesempatan bagi kita untuk mengenal dekat sosok Buya Hamka.