Kenapa Ibu Rumah Tangga Butuh Menulis?

“Kangen banget menulis artikel pakai laptop lagi. Tapi minta dibalikin laptop nggak tega.”

Curhat sama suami, mengenai laptop yang dipinjam adik bungsu laki-laki. Dia cuma senyum doang. Nyebelin. Memang sih saya yang memaksa adik, menggunakan laptop Asus saya. Adik terpaksa berhenti bekerja karena kesandung kasus di kantor. Walaupun tidak bersalah, tetap saja dipersalahkan. Ya namanya orang gajian. Apapun kata bos harus selalu benar.

Hidup tanpa gaji bulanan, dengan tanggungan istri dan kedua anak. Pas kerja gaji delapan digit ditambah fasilitas laptop dan mobil dari kantor. Sekarang lenyap mendadak. Sedih banget melihatnya. Adik lalu memutuskan menjadi freelancer pengurusan surat resmi. Namanya pandemi, melamar kerja, tapi tidak kunjung dapat pekerjaan.

Blood is thicker than water.’ Emang kalau keluarga lagi kena musibah terasa oleh anggota keluarga lainnya. Mengurus surat-surat pastinya butuh laptop untuk bekerja. Sedangkan membeli juga simpanan uangnya terbatas. Kasihan. Nanti beli laptop, malah keluarganya tidak makan.

Otomatis saya mengetik terpaksa menunggu pak suami selesai bekerja. Kebetulan dia WFH, tapi malasnya lagi semangat menulis artikel, tiba-tiba dia disela. “Sebentar dulu bu, ayah ada revisi design.” Beuhh.. Selesai dia kerja, saya ngetik lagi, trus disela lagi, gara-gara ada kerjaan. Gitu aja terus, gonta-ganti seharian. Atau nunggu dia kelar jam kantor, dan saya baru bisa menulis malam di sisa-sisa tenaga. Rindu banget pengen punya laptop lagi, ihiks.

Menulis, Sebuah Kebutuhan Penting Dalam Hidup

Ngapain sih ibu rumah tangga ngotot terus menulis di blog? Butuh uang? Pastinya wkwkw.. Cuan itu penting lho. “Minimal perempuan bisa beli bedak pakai uang hasil jerih payah sendiri,” begitu kata Mama. Namun dibalik uang, ada alasan kuat lainnya dari menulis.

Menulis Untuk Terapi

Menulis merupakan terapi bagi mantan penderita baby blues seperti saya. Dua kali lahiran, saya dua kali baby blues. Saat si kakak (8 tahun) lahir, saya sukses membuat suami resign dari pekerjaannya sebagai final art di salah satu majalah parenting. Keren kedengeran pekerjaannya, final art, tapi kenyataannya nginep di percetakan nungguin majalah dicetak semua. Tidur di lantai pakai potongan kardus. Mana  jarang pulang, puncaknya hamil 8 bulan saya menemui HRD kantor suami, marah-marah suami kerjanya overtime. Mending kalau dibayar lembur, ini mah mengenaskan wkwkw..

Sedangkan si adik(5 tahun) pernah saya banting saat bayi. Untung jatuhnya ke kasur, entahlah kalau ke ubin atau benda keras lainnya. Seperti nggak sadar gitu, halu. Baru sadar, setelah dibentak sama mama. “Itu bayi kenapa dibanting?” Astagfirullah.

Setelah kakak berumur 2 tahun dan hamil si adik 6 bulan, saya ikut menulis skenario sinetron anak di salah satu televisi. Hanya asisten penulis. Namun membuat saya enjoy sampai akhirnya memutuskan berhenti, karena mau fokus lahiran.

Waktu berlalu diisi dengan kesibukan mengurus kedua anak yang masih kecil. Di saat itu saya berjuang keras, agar baby blues tidak berkembang menjadi PPD. Sampai adik berumur 1 tahun, saya memutuskan menulis lagi agar baby blues sembuh. Bukan skenario sinetron, tapi menulis blog.

Menulis Menambah Pengetahuan

Menulis malah memperkaya pengetahuan bagi diri sendiri. Karena memang sebelum menulis artikel, harus riset dulu. Membaca sumber-sumber bahan tulisan. Nggak bisa asal tulis. Kecuali menulis di diary, yang nggak ada orang baca. Baru deh bikin tulisan suka-suka, curhat ala-ala.

Dari membaca itu, jadi banyak tahu mengenai topik yang akan ditulis. Berpikir sudut pandang yang menarik apa yang akan diangkat. Otak menjadi berpikir juga. Makanya banyak penulis itu yang pintar dan senang diskusi. Terlalu banyak hal penting di otak yang harus ditumpahkan. Lalu dikosongkan untuk mengisi dengan topik yang baru.

Menulis Memotivasi Anak Untuk Terus Berusaha

“Ibu nulis apa sih?” Kedua anak memang selalu kepo, melihat ibunya ketak-ketik di PC ayahnya. Padahal mereka melihat saya di depan PC atau laptop dari kecil, tapi selalu mau tahu aja. Terlahir tanpa bakat urusan domestik, kecuali masak, maka saya berkesempatan menulis. Itu pun selesai masak, suami yang mencuci piring. Apalagi WFH begini, suami ringan tangan buat mencuci baju juga sama nyuapin anak, wkwkw..

Si kakak yang kerap mengeluh bosan belajar daring di rumah, dan adiknya yang pengen jalan-jalan. Akhirnya tertarik melihat ibunya yang nggak bisa diam. Bahkan tidur siang aja nggak. Ngetik, masak, kasih makan kucing, ngurusin adik, bikin kue, jualan lele dan sebagainya. Walau di rumah aja, tapi saya memperlihatkan kepada mereka. Hidup itu harus terus berkarya, salah satunya dengan menulis artikel.

Intinya mereka melihat walau ibunya tidak bekerja di luar alias kantoran. Tapi ibunya tetap berkarya dengan tulisan walau dari rumah. Sehingga walaupun di rumah, tetap saja mereka termotivasi untuk selalu bergerak dan membuat sesuatu, walaupun baru prakarya hehe..

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *