Menggalakkan Budaya Sensor Mandiri Di Bangka Belitung
Pernah membaca status teman di Facebook yang kesel menonton film di bioskop, gara-gara tangisan bayi. Waduh, kenapa juga bayi bisa ikutan nonton? Memangnya boleh?
KLISE sih alasannya. Ibu si bayi penasaran ingin nonton film, tapi nggak ada yang bisa dititipin bayinya. Jadinya tuh bayi dibawa nonton ke bioskop. Memang, saya pernah merasakan bete banget, abis melahirkan. Ingin kembali ke dunia normal, setelah berbulan-bulan nggak bisa kemana-mana. Untungnya nggak pernah kepikiran nonton film sama bayi.
Kalau dipikir-pikir, menonton bioskop yang suaranya menggelegar, tidak baik buat pendengaran bayi. Apalagi GOLDEN AGE, sampai berusia 3 tahun. Menyerap semua yang ada di sekitarnya. Parah ini, kalau ibunya mengajak bayi menonton yang ada adegan kekerasan. Biar hanya mendengar tanpa menonton, bayi tetap menyerap semuanya. Dan pastinya menganggu penonton lainnya.
Memang sih, seharusnya pihak bioskop tidak boleh membiarkan bayi masuk ke dalam bioskop. Apalagi ada klasifikasi usia penonton, yang diperbolehkan menonton film. Tapi di lapangan, semua itu tidak terjadi. Mungkin karena pihak bioskop takut penonton berkurang, atau ada sebab lain.
Apa Itu Sensor Mandiri
Lalu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat, agar ? Yups, diperlukannya kesadaran dari masyarakat sendiri, dengan menggalakkan sensor mandiri. Lalu seperti apa sih sensor mandiri itu?
Di acara Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Gedung Auditorium IAIN Syaikh Abdurrahman Siddiq, Bangka Belitung, pada Senin, (8/4/2019). Ketua Lembaga Sensor Film, Dr. A. Yani Basuki, M.Si., mengatakan film memiliki nilai strategis yang mampu memengaruhi khalayak.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa film, mampu membuat seseorang terinspirasi untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini, penting bagi masyarakat agar bijak dalam melihat film.
“Sensor mandiri merupakan gerakan literasi kepada masyarakat, agar cerdas memilih film sesuai klasifikasi usia yang telah ditentukan.” – Dr. A. Yani Basuki, M.Si. –
Selain itu Dr. A. Yani juga menjelaskan tentang beberapa fungsi perfilman, di antaranya hiburan dan pendidikan. Menurutnya film tidak dapat secara langsung dikategorikan baik atau buruk. Melainkan harus ditelaah secara keseluruhan tema, konten, adegan, dan nuansa yang timbul dari film tersebut. Ketua Lembaga Sensor Film selalu memposisikan diri sebagai pelindung masyarakat dari kemungkinan efek negatif yang muncul. Dan juga sekaligus mengajak produser film untuk menumbuhkan perfilman nasional.
Iya sih, dulu pernah juga saya membaca, para film maker sempat protes saat merasa terlalu banyak adegan yang disensor. Dan ini dianggap mereka merusak film. Tapi bila sensor dianggap terlalu longgar, gantian masyarakat yang protes. Seperti kasus penolakan film Dilan, yang sempat heboh beberapa bulan lalu.
Apakah Semua Film Layak Ditonton?
Sebenarnya menurut Dr. A. Yani, tidak semua film layak ditonton sehingga perlu untuk disensor dan diklasifikasikan sesuai usianya. Dalam arti, bila filmnya memang nggak sesuai, ya jangan ditonton.
Kenapa? Karena dampak menonton lebih besar dari membaca, dan beberapa kasus telah menunjukkannya. Setuju kalau ini, seperti anak-anak yang mengucapkan kata kasar karena meniru adegan film.
Tapi sayangnya menurut Dr. A. Yani, tidak semua masyarakat sadar akan hal itu. Lebih ironis lagi, jika ada orang tua yang memberikan kebebasan bagi anak untuk mengakses internet melalui smartphone.
Padahal pada tahu kan ya? Tidak semua layak diakses atau ditonton. Apalagi adegan kekerasan dan seksual. Itu sama saja merusak anak dari kecil.
“Sensor Mandiri adalah upaya dari Lembaga Sensor Film dalam menyikapi fenomena yang terjadi saat ini.”
Beliau menambahkan masyarakat lebih berminat untuk menonton dibandingkan dengan membaca. Sehingga kesadaran untuk memilih dan memilah tontonan menjadi penting.
Film memiliki nilai strategis bagi karakter bangsa,sehingga gerakan ini perlu disosialisasikan kepada semua pihak.
Memang sebagai ibu yang mempunyai balita, saya menyadari agak susah mengajarkan anak suka membaca. Karena otomatis harus kita yang bacakan, sedangkan dengan menonton sangat gampang. Tinggal menyalakan televisi, atau memberikan handphone yang ada youtube-nya
Harus ada kesadaran dari masing-masing pribadi terutama orang tua, dalam menerapkan sensor mandiri di keluarga.
Acara dibuka secara resmi oleh rektor IAIN, Dr. Zayadi, M.Ag., dan dihadiri oleh peserta yang berasal dari kalangan pejabat kampus, mahasiswa, dan perwakilan dari berbagai komunitas.
Dalam sambutannya, Dr. Zayadi, menjelaskan sosialisasi ini merupakan wawasan baru bagi mahasiswa dan peserta. Beliau mengucapkan terima kasih kepada LSF telah hadir dan membagi informasinya.
Dengan teknologi yang berkembang pesat seperti saat ini, masyarakat diminta semakin waspada karena film dapat diakses melalui media apapun.
Bener banget, nggak hanya lewat bioskop, tapi bisa lewat internet dan televisi. Jadi kita perlu menggemakan budaya sensor mandiri. Supaya semakin banyak masyarakat yang menerapkan sensor mandiri.