Film Duka Sedalam Cinta, Drama Romance Yang Sarat Dakwah
Sebenarnya niat saya pertama kali mengajak mama menonton film ini, karena mama berulang tahun pada tanggal 28 Oktober, yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Mama juga penggemar film-film dakwah, maka pas rasanya mengajak mama menonton film Duka Sedalam Cinta, film pemuda yang agamis. Namun saya tidak menyangka menonton film ini, membawa saya kembali ke kenangan saat SMA dulu, saat pertama kali mendapatkan hidayah dan memakai jilbab.
(Tiket menonton Film Duka Sedalam Cinta berdua sama mama) |
Seperti memori indah yang membuncah kembali. Rasa manis mendapatkan hidayah dari membaca majalah Annida. Dimana banyak sekali cerpen sarat dakwah islam, salah satunya cerpen ‘Ketika Mas Gagah Pergi’. Tidak menyangka akhirnya, Helvi Tiana Rosa berhasil mewujudkan mimpinya, mengangkat cerpen ini menjadi dua film, yaitu film Ketika Mas Gagah Pergi dan film Duka Sedalam Cinta.
Bahkan Helvi Tiana Rosa menjadi produsernya sendiri, prestasi yang sangat luar biasa bagi seorang penulis, yang selama ini bermain di ‘kata’, sekarang bermain di ‘adegan’. Seingat saya kehebohan rencana mengangkat cerpen ini menjadi film terdengar, saat hamil anak kedua, sekitar 2 tahun 7 bulan lalu. Saya sudah memprediksi, film ini akan mendapatkan antusias yang besar dari penonton, mengingat walaupun sudah kurang lebih 20 tahun, tapi cerpen Ketika Mas Gagah Pergi, masih terekam kuat di benak para pembaca setia majalah Annida.
Dari segi poster, cukup simpel tapi penuh makna. Latar belakang warna poster yang putih, identik dengan penafsiran islam itu bersih. Sayang tampilan foto para pemerannya menurut saya sangat ramai, dengan menampilkan 10(sepuluh) pemeran. Uniknya foto Aquino Umar dengan muka sedih, ditampilkan dengan ukuran paling besar. Seperti menyiratkan kalau perannya sebagai Gita, merupakan tokoh yang paling menderita di film ini.
(Gambar poster diambil dari www.bioskoptoday.com) |
Uniknya Hamas Syahid sebagai pemeran utama, juga menyanyikan salah satu soundtrack di film ini, dengan judul ‘Jalan Yang Kupilih‘, dengan lirik dari puisi ciptaan Helvi Tiana Rosa. Kalau tidak salah Hamas juga seorang Hafidz, yang hafal Al Quran. Selain itu ada ada dua soundtrack lagi yaitu lagu ‘Message Of Love‘ yang dinyanyikan oleh Ita Purnamasari, dan lagu ‘Rabbana‘ yang dinyanyikan oleh Indah Nervertari.
Menonton film ini, selain sarat dakwah, penonton disajikan dengan keindahan alam Maluku Utara dan Halmahera Selatan, terutama pulau Widi. Birunya laut, tingginya deburan ombak dan juga rumah–rumah penduduk di pinggir laut, membuat mata tidak bosan memandang. Apalagi saat pengambilan gambar dilakukan dari atas ketinggian pulau Widi dan juga pinggiran laut, yang dikenal sebagai teknik Bird Eye View. Rumah-rumah di pinggir laut yang dicat beraneka warna, membuat saya ingin sekali berkunjung kesana, indah sekali. Ditambah dengan kehidupan pesantren di Maluku Utara, yang dekat dengan laut. Terasa sangat islami, apalagi adegan menyelam mengambil sampah di pinggir laut, menjadi salah satu adegan favorit saya. Memang untuk sinematografi, film ini patut diacungi jempol.
Saya seakan tidak percaya lokasi syuting film ini berada di Indonesia, poin plus dalam film ini. Selama ini, para sineas Indonesia selalu beralasan terbentur dengan masalah budget, sehingga kurang mengeksplor keindahan alam Indonesia, terutama daerah yang jauh dari pulau Jawa. Sayangnya saya agak terganggu saat adegan berganti dengan setting film di Muara Angke, lingkungan pinggir laut yang kumuh.
Yang patut diapresiasi, film didukung oleh Dompet Dhuafa ini, juga mendapat dukungan dari Bupati Halmahera Selatan, Muhammad Kasuba, dan juga mantan Bupati, Muhammad Bahrain, yang ikut berakting di film ini. Selain itu beberapa artis dan aktor senior pun ikut bermain seperti Mathias Muchus, Ali Syakieb, Wulan Guritno, Epi Kusnandar. Tidak ketinggalan juga Asma Nadia, yang notabene adik Helvi Tiara Rosa yang juga novelis terkenal, serta ustadz Salim A. Fillah.
Untuk akting, para aktris dan aktor senior tidak diragukan lagi. Namun saya cukup terpukau dengan akting Aquino Umar, yang berperan sebagai Gita. Terasa naturalnya, tanpa dibuat-buat, rasanya Aquino memang dilahirkan untuk berperan menjadi adik mas Gagah yang manja. Kalau Hamas Syahid yang berperan sebagai Gagah, menurut saya aktingnya juga lumayan, hanya saya agak terganggu saat close-up, malah memandangi jenggotnya, buat memastikan tempelan atau tidak. Sayang saya belum melihat Hamas saat menjadi mas Gagah yang ‘nakal’. Namun melihat matanya yang tipe sendu dan gaya kalemnya, mengingatkan saya dengan tipikal ikhwan anak Rohis di SMU dulu.
Sedangkan Masaji Wijayanto yang berperan sebagai Yudi, dari perawakannya memang kelihatan idola remaja banget. Hanya sayang menurut saya, di sini terlihat lebih banyak Masaji dituntut untuk bermuka serius. Andai Masaji banyak memperlihatkan muka cerianya, pasti deh banyak penonton remaja yang terpukau, (jadi teringat dulu saat SMA, suka mengidolakan ikhwan ganteng). Di luar akting mereka yang lumayan, menurut saya film ini merupakan tantangan terbesar mereka, memerankan cerita yang dibuat saat mereka masih kecil, bahkan bisa jadi belum lahir.
Sinopsis film
Adegan film ini dibuka dengan kepergian Gagah ke Ternate. Gita yang komplain dengan kepergian Gagah, tidak bisa berbuat apa-apa. Di Ternate terjadi peristiwa yang tidak disangka Gagah, peristiwa yang mempertemukan dirinya dengan Yudi dan Kyai Gufron, yang kemudian mengubah jalan hidupnya. Sepulang dari Ternate, Gagah menjadi kakak yang berbeda dari sebelumnya, menjadi pribadi yang soleh, namun Gita tidak senang dengan perubahan Gagah.
Di sisi lain, Gita mulai bertemu dengan Yudi yang suka berdakwah di bus dan menyebut dirinya ‘Fisabilillah.’ Gita yang awalnya tidak menyukai Yudi, malah menjadi simpati, sejak Yudi menyelamatkan handphonenya dari percobaan pencurian di bus. Namun sesuatu terjadi, kepahlawanan Yudi di bus, malah mengancam jiwanya dirinya. Gita mulai cemas, Gagah yang suka berdakwah seperti Yudi, juga akan mengalami hal yang sama dengan Yudi. Sayang Gita dan Gagah tidak bisa bertemu Yudi di rumah sakit. Sampai akhirnya saat Gita berulang tahun ke-17, dan mendapatkan hidayah, takdir kembali mempertemukan Gita, Gagah dan Yudi dalam suatu kejadian yang tidak dapat dielakkan, dan merubah jalan hidup mereka.
Sebenarnya saya sempat menginginkan ada cameo di film ini, dan Epi Kusnandar sepertinya pas untuk itu. Sayang porsi Epi, sebagai salah satu mantan preman yang mengurus Rumah Cinta terkesan serius. Selain itu alur film yang maju mundur, membuat penonton harus cerdas, untuk menentukan apakah alur maju, atau saat alur mundur. Namun menonton film ini membuat saya merasa seperti membaca tulisan Helvi Tiana Rosa, dari narasi-narasi Gagah dan juga Yudi di beberapa adegan. Gaya tulisan Helvi Tiana Rosa yang terasa sangat kental dengan dakwahnya.
Hanya saya sedih di endingnya, so sad. Saya masih ingin berlama-lama menyaksikan kisah percintaan Gita dan Yudi setelah menikah. Merasakan kebahagiaan Gita bersama Yudi saat mereka sudah halal. Namun sepertinya film ini ingin memberikan porsi kesenangan yang seimbang bagi penonton. Sehingga tidak ada yang kecewa.
Salah satu pesan dari film ini yang keluar dari mulut Kyai Gufron yang akan selalu saya ingat, saat Gagah mendampingi Kyai Gufron membagikan sedekah ke kaum dhuafa, “Work hard, play hard.” Seperti Dompet Dhuafa yang mengagas gerakan sedekahtiketkmgp2, agar anak-anak yatim dan kaum dhuafa dapat turut menyaksikan film Duka Sedalam Cinta.
Dalam banget makna film ini, bernuansa islami jadi pemasangan pengen nonton juga kalau pas ada waktu senggang.
Kisahnya sangat FLP banget nih. Tipikal cerpen2 FLP zaman dulu.
Wahh jadi penasaran sama filmnya nih. Nilai religiusnya kental banget ya, btw masih ada ga aih di bioskop??
Wah ga ngajak-ngajak neh nontonnya mba. Nobar kan lebih seru… Sepertinya religi filmnya bagus ya.
Kayaknya masih diputar di Cempaka putih mba. Kalau tidak sempat, nonton streaming aja. Sayang dilewatin.
Iya mba leyla, sesuai dengan ruh tulisan mba HTR, yang islami dan sarat dakwah
Terakhir aku dengar masih ditayangkan di Cempaka Putih, entahlah sekarang.
Nonton di streaming aja, sayang kalau nggak nonton
Hehe nggak kepikiran nobar, ayuks kapan-kapan kita nobar.
Bener film religi, sarat nasihat yang baik-baik.
Pesan filmnya begitu mendalam. Saya kutip quote kiyai Ghufron di atas "Work hard, play hard". Rasanya saya sebagai orang yg belum nonton Film di atas, saya ikut semangat dgn pesan kiyai tadi.