TupTalk: Tips Jitu Menyehatkan dan Menguatkan Keuangan Keluarga

Memiliki dua kartu kredit salah satu Bank Swasta terbesar di Indonesia, membuat keuangan keluarga saya menjadi agak memprihatinkan selama beberapa tahun terakhir. Awalnya saya tergoda untuk belanja bulanan sebelum suami gajian, di salah satu swalayan terbesar di Indonesia (pasti pada tahu deh swayalan yang mana, secara iklan di tv-nya gencar). Biasanya belanja di swalayan itu, dengan membayar pakai kartu kredit tertentu, akan mendapatkan tambahan diskon.  Lalu meningkat menjadi godaan untuk kredit barang dengan iming-iming bunga 0 persen, masih di swalayan yang sama. Alhasil, setiap bulan suami membayar cicilan untuk dua kartu kredit setiap bulan. 

Padahal kalau dipikir hutangnya tidak banyak, masih di bawah angka 10 juta. Tapi yang terasa hilang keberkahan rejeki. Uang terasa sangat sulit untuk didapat, dan bila didapat habisnya sangat cepat. Kami baru terasa benar dampak dari riba, hilang keberkahan hidup. Alhamdulillah dengan tekad dan doa, untuk melunasi kartu kredit, bukan sekedar membayar cicilan, kami mendapatkan rejeki lebih, dan segera menutup satu kartu kredit setelah lebaran. Sekarang tinggal satu kartu kartu kredit yang tersisa, yang insya Allah akan segera ditutup juga.

Ternyata setelah menghadiri Tup Talk: Financial Planning with Ligwina Hananto, seorang financial planner, pada hari Kamis, 20 Juli 2017, di Tupperware Showroom, SQ South Quarter, Dome, saya baru tahu kartu kredit itu seharusnya tidak boleh digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi. Bagi yang pernah belajar akuntansi dasar, pasti mengetahui neraca keuangan yang namanya debit dan kredit. Jadi hutang yang benar itu, dibayar untuk membiayai aset, bukan untuk barang komsumsi. Dimana di neraca keuangan, hutang itu lawannya rumah, mobil atau motor, sehingga neraca keuangannya balance. Nah, kalau kartu kredit dipakai untuk berhutang, membeli barang-barang konsumsi seperti baju, sepatu, dan lain sebagainya, maka neraca keuangannya akan timpang,karena lebih besar di hutang.

(Dok. Pribadi)


Mba Lidgiwina tidak melarang menggunakan kartu kredit, asalkan mengetahui cara menggunakannya. Kartu kredit sebaiknya hanya dijadikan sebagai jaminan saat emergency seperti misalnya kita menginap di hotel, pihak hotel meminta jaminan kartu kredit untuk pembayaran atau kita harus bayar cash di muka terlebih dahulu. Kadang saat travelling kita tidak membawa uang cash yang cukup, jadi kita bisa menggunakan kartu kredit terlebih dahulu, dan membayar cicilan kemudian sebelum jatuh tempo agar tidak terkena bunga. Jadi prinsipnya, ‘Berani Gesek, Berani Bayar.’ jangan ‘Berani Gesek, Berani Nyicil’, nggak bakal kelar-kelar cicilan kartu kreditnya nanti.

Mba Ligwina menyarankan suami dan istri itu harus transparan soal keuangan. “Kita harus duduk bareng bersama suami, untuk mengetahui berapa sih sebenarnya penghasilan suami dan berapa penghasilan istri. Banyak para suami yang kadang tidak mau jujur berapa nominal penghasilannya. Bisa jadi suami mempunyai pekerjaan sampingan, atau suami tidak mau jujur dengan gajinya. Bila suami dan istri mau transparan mengenai penghasilannya, bisa diketahui berapa sih sebenarnya total penghasilan keluarga dalam sebulan.”

(Dok. Pribadi)


Banyak para suami suka tidak jujur dengan penghasilannya kepada istri. Sama seperti saya, yang awal-awal menikah, tidak pernah melihat slip gaji suami. Menurut mba Ligwina, hal ini dikarenakan dua hal:

  1. Laki-laki pada dasarnya merasa berkuasa, sehingga ada rasa ego kalau harus memberi tahu penghasilannya pada istri.
  2. Laki-laki  suka tidak percaya kalau istrinya bisa mengatur keuangan, apalagi istri yang hobi shopping, belum sampai sebulan, uang gajinya bisa habis duluan.

Jadi tahu kan kenapa laki-laki suka kucing-kucingan sama penghasilannya? Masalah uang memang sensitif di keluarga. Kadang sebagai perempuan, kita suka curiga kalau suami nggak jujur sama uang, jangan-jangan uangnya disimpan untuk wanita idaman lain. Waduh.

Untuk bisa me-manage keuangan keluarga dengan baik, maka sisihkan minimum 10 persen dari penghasilan untuk menabung, lalu bayar cicilan hutang 30 persen dari penghasilan. Bila mempunyai hutang kartu kredit 10 juta, dan mempunyai saldo tabungan 10 juta. Lebih baik tabungan diambil dan hutang kartu kredit dilunasi, karena bunga kartu kredit lebih besar daripada bunga tabungan. Setelah hutang kartu kredit lunas, baru kita bisa menabung.

Lalu bagaimana dengan yang suaminya atau istrinya yang pekerjaannya freelance? Tidak bisa memastikan berapa penghasilan dalam sebulan. Menurut mba Ligwina, berarti harus dikunci pada pengeluarannya. Bila pengeluaran sebulan 5 juta rupiah, dan penghasilan bulan ini 8 juta rupiah, maka kelebihan 3 juta-nya ditabung untuk dana cadangan. Freelancer kan tidak selalu mendapatkan uang yang pasti nominalnya setiap bulan, maka dana cadangan bisa digunakan, bila sewaktu-waktu penghasilan lebih kecil dari pengeluaran.

Selain itu untuk ada lima kategori yang dapat kita lakukan untuk check-up pada pengeluaran bulanan :

  1. Menabung
  2. Cicilan hutang
  3. Pengeluaran rutin
  4. Lifestyle
  5. Pengeluaran sosial

Intinya pada penghasilan, lima hal di atas harus menjadi patokan dalam pengeluaran sebulan, sehingga keuangan bisa ter-manage dengan baik. Mba Ligwina menyarankan sebaiknya jangan mempunyai satu rekening. Agar pos-pos pengeluaran terkontrol, ada baiknya mempunyai banyak rekening untuk setiap pos pengeluaran seperti rekening shopping, rekening belanja bulanan, rekening jalan-jalan, dan sebagainya. Sehingga bila rekening shopping sedang tidak ada uangnya, maka mau tidak mau biarpun sedang musim obral, kita tidak dapat belanja. Nah lhooo… gigit jari deh, bagi yang hobi shopping.

Mba Ligwina menambahkan ada dua level dalam meningkatkan keuangan :

  1. Level mengumpulkan, yang dilakukan dengan cara menabung, reksadana, deposito, dan sebagainya
  2. Level menghasilkan, yang dilakukan dengan cara memulai bisnis, membeli properti, membeli surat berharga, dan sebagainya

Pada saat ini, orang banyak berlomba membeli properti, tapi sebelum membeli ada beberapa hal yang harus ditanyakan pada diri sendiri :

  1. Apakah punya kemampuan untuk membayar DP?
  2. Apakah mampu membayar cicilan?
  3. Apa tujuan membeli properti?

Kadang orang tergiur untuk membeli properti tapi uang buat bayar DP nggak ada. Atau bisa bayar DP, tapi  nggak sanggup menyicil. Ada juga yang sanggup bayar DP, sanggup nyicil tapi bingung propertinya digunakan untuk apa. Bila properti akan disewakan, maka biaya sewanya sekitar 5-12 persen per tahun dari harga properti sehingga  bisa menguntungkan. 

Jangan sampai terjebak dengan ‘Properti Bubble’ yaitu dimana harga properti lebih mahal daripada harga sesungguhnya. Contohnya kita membeli properti dengan harga 1 milyar, tapi ternyata biaya sewa di tempat itu per tahun hanya 20 juta, sedangkan bila kita memasang harga sewa per tahun 5 persen dari harga properti seharusnya sewanya 50 juta setahun. Wow. 

Sekarang pertanyaannya gimana kalau yang bekerja hanya suami, sedangkan istrinya hanya mom stay at home, seperti saya? Bagaimana bisa menabung, beli properti dan lain-lain kalau penghasilannya hanya berharap dari suami? Boro-boro buat beli surat berharga, kadang beli bedak dan lipstick, saja agak susah kalau cuma berharap dari uang belanja, hehe..

Menurut saya, solusinya doa dan ikhtiar. Sebagai istri kita mendoakan suami agar rejeki kita dan anak-anak bisa didapat dari suami. Selain itu juga kita harus ikhtiar, sebagai mom stay at home, kita bisa mencari rejeki sambil mengasuh anak-anak. Apalagi sekarang ada media sosial, market place (tokopedia, bukalapak, dan lain-lain) dan ojek online. Jualan apapun terasa lebih mudah promosi dan delivery-nya. Atau bisa juga membawa dagangan sambil mengantar dan menjemput anak-anak sekolah. 

Ide bisnis yang bisa ditekuni mom stay at home pun beragam, dari jual kue dan makanan, jual baju, jual jilbab dan lain-lain. Seperti dari hobi memasak kue, mom stay at home bisa menawarkan pesanan kue ke orang tua murid di sekolah atau lingkungan sekitar. Jangan merasa malu, karena sekarang zamannya ibu-ibu hobi bisnis, bukan cuma shopping doang. Nggak salah kalau ibu-ibu sekarang dapat julukan The Power of Emak-emak.

(Dok. Pribadi)


Mba Ligwina juga memberikan saran, “Bila merasa tidak ada ide bisnis yang sesuai, kita bisa jualan Tupperware yang sudah terkenal di mana-mana.” Cuma dengan modal kecil bisa menjadi pengusaha Tupperware. Untuk tahu cara mendaftar Tupperware dan informasi seputar Tupperware, silahkan klik websitenya. Bagaimana cara jualannya? Gampang banget. Kita bisa mengadakan demo masak dengan menggunakan produk Tupperware. Misalkan kita mau memperkenalkan Tupperware Speedy Chef, kita bisa melakukan demo masak di arisan-arisan seperti demo masak pancake yang diperagakan oleh ibu-ibu dari Tupperware menggunakan Tupperware Speedy Chef, sebagai pengganti mixer.

(Dok. Pribadi



Jadi biarpun cuma berada di rumah, kita bisa tetap membantu perekonomian keluarga sambil mengasuh anak. Selain itu, mom stay at home juga bisa berkontribusi dalam menyehatkan dan menguatkan keuangan keluarga. Syukur-syukur bisnis yang dimulai dari rumah bisa membesar dan menjadi bisnis yang mapan. Amin.













.








Similar Posts

24 Comments

  1. Dulu waktu aku masih kerja, aku bisa memanage keuanganku sendiri mba, tp sekarang setelah berumah tangga. Sulit sekali mengaturnya, karena ssring ada keperluan tak terduga. Tapi terimakasih tipsnya dlm mengatur keungan ini ya mba.

  2. Alhamdulillah sejauh ini ga kucing-kucingan sama suami perihal Penghasilan. Tapiii ya memang harus mulai pintar ngatur keuangan. Banyak kebutuhan ini itu, apalagi udah ada si kecil.
    Ini tipsnya saya simpan yak. Hehe

  3. Wuuah lengkap sekali bahasannya. Memang kartu kredit itu harusnya ga bolrh dianggap sebagai uang tambahan, tapi harus dimanfaatkan dg bijak. Papaku punya CC cuma agar tiba2 harus berurusan dg RS, gampang check in, ga kepentok masalah dana

Tinggalkan Balasan ke Ovianty _ Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *